Ziarah. Saya tertarik
menonton film ini karena melihat poster si mbah. Ada gambar si mbah yang sedang duduk di makam
sambil termenung. Ekspresinya kosong
saja. Lebih banyak “ornamen” kerut dan
keriput di wajahnya. Matanya pun sudah
mengecil, cekung ke dalam. Rambut putih,
tipis dan bergaya orang Jawa lama, digulung “cepol”. Kuburan yang menjadi latarnya cukup kontras
dengan kesederhanaan si mbah. Cukup
mewah.
Inti ceritanya, bagi yang belum menonton, si mbah pergi mencari
makam suaminya tanpa pamit dengan cucunya.
Pergi dari satu rumah ke rumah yang lain. Menelusuri di mana maka suaminya, yang juga
bekas pejuang 45. Dari veteran yang satu
ke teman almarhum suaminya yang lain. Di
sini saya menilai si mbah sudah menjadi detektif swasta. Mengumpulkan informasi. Berkelana.
Berjalan kaki. Sesekali menaiki
bis di terminal untuk pergi menempuh daerah luar kota.
Si mbah ingin menemukan makam agar ia
dapat dikubur di samping suaminya. Juga
ia tampaknya punya perasaan iri melihat istri pejuang lainnya ziarah di makam
suaminya sambil bercerita kepahlawanan suaminya.
Usaha menemukan makam tidak semulus
bayangannya. Kadang si penunjuk makam
salah menunjukan nama makam. Juga, ada
yang menghalangi si mbah datang ke makam itu.
Ini karena terkait akhir cerita film ini, yang mana saya tidak tulis di
sini.
Akhir cerita, si mbah menemukan kuburannya. Tapi si mbah dan saya tidak menyangka
akhir cerita ini jauh dari yang dicitakannya.
Film ini mengajarkan untuk kita dapat menyelesaikan masa lalu
kita yang tidak mungkin kembali lagi. Entah
dengan cara memperjuangkannya untuk mendapatkannya kembali. Kalau tidak bisa ya, menerimanya saja. Kadang kita yakin kita masih bisa
memperjuangkannya, namun akhir dari perjuangan itu, rahasia semesta. Tidak ada yang tahu. Ketika kita tahu, hasilnya mungkin saja mengejutkan. Sama seperti akhir film ini. Bukan akhir cerita bahagia.
0 comments:
Posting Komentar