Pergi Ke Museum Monas
-Regimes fall everyday-
Rangkaian kata di atas, entah
diucapkan oleh siapa, entah karena apa dan entah kapan. Tiba-tiba ingat saja soal kejatuhan dari
sebuah rezim/pemerintahan. Jatuhnya
rezim, sama seperti saya yang jatuh dalam dosa malas. Salah satu dosa yang membuat blog ini seperti
anak terlantar. Lama tak menulis. Lama tak menuangkan kesan atas hidup saya
beberapa bulan ini. Vakum.
Namun, saat ini saya
kembali. Dosa malas itu sudah jatuh
tergantikan dengan semangat menulis, entah karena apa. Mungkin karena saatnya
ide-ide yang berkecamuk perlu dipuaskan melalui tulisan. Kini, soal kejatuhan. Kebetulan, kemarin saya berkunjung ke museum
monas. Bagi yang belum penah
mengunjungi, tenanglah, saya bisa sedikit
membagi kunjungan saya ke sana.
Di sana ada beberapa diorama yang menceritakan perjalanan perjuangan
bangsa kita. Dari zaman pra-sejarah (sebelum ditemukannya tulisan),
kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara, masuknya penjajah, perjuangan
pengusiran mereka, pemerintahan negara pertama negara kita dan jatuh bangunnya
pemerintahan selanjutnya dan berakhir pada Orde Baru Soeharto. Berhenti.
Setelah itu, tidak ada lagi
cerita soal bagaimana kejatuhan rezim ini.
Tidak seperti jatuh bangunnya kerajaan negara kita ataupun tidak sama
dengan jatuh bergantinya kabinet zaman Soekarno. Orde Baru di museum itu abadi
terpelihara. Setidaknya jejaknya hampir
terpelihara merata. Mungkin, bisa jadi saya tidak sempat mengikuti jejak zaman reformasi ini di sana.
Namun, nuansa kuburan Orde Baru benar terasa.
Saya bukan penentang rezim, namun saya hanya merasakan apa yang saya
lihat dan alami sendiri di museum itu.
Kubur firaun di Mesir bertujuan
sebagai tempat peristirahatan abadi para raja.
Museum ini pun sama sepertinya.
Pancasila dan segala kawan-kawannya disakralkan. Di ruangan gelap tanpa lampu yang cukup yang bahkan debu
kotor pun tidak mungkin lagi dapat tertangkap mata.
Kecuali kita dianugerahkan mata hati yang tajam. Padahal, bukankah Pancasila adalah jati diri
bangsa yang membedakannya dengan yang lain.
Mengapa perlu disakralkan? Sama
seperti keris, lukisan atau patung yang disakralkan malah membuat pemiliknya
tidak bebas menyelami maknanya. Seperti terdapat batasan, misalnya batasan
cara memperlakukannya, batasan cara memandikannya dan mungkin penggunaannya. Lain halnya petunjuk manual alat elektronik
yang kita beli. Kita bebas
mengutak-atiknya. Apalagi falsafah hidup
ini petunjuk manual dalam kehidupan kita, bukan? Seharusnya, menyatu di kehidupan sehari-hari.
Mengapa pula tidak diutak-atik
saat rezim berganti hampir 11 tahun lalu ? Ya, mungkin tidak peduli. Apatis
belajar dari sejarah. Rezim lama jatuh
dan yang baru tidak perduli. Atau apakah
rezim baru bertalian erat dengan rezim
lama? Yang jelas, memasuki museum ini
saya seperti kembali pada kehidupan Sekolah Dasar saya. Dimana kekuasaan rezim begitu
mencengkram. Bravo untuk museum
Monas! Seperti mesin waktu yang membawa
saya mundur kembali.
0 comments:
Posting Komentar