Beberapa hari lalu,
saya ingin menonton film layar lebar, Sultan Agung. Entah sudah terlalu
lama tayang atau tidak, layar bioskop yang memutar dapat dihitung dengan
jari. Itupun jauh dari tempat saya tinggal. Demi film itu, saya
harus membuat otot saya pegal melawan kemacetan pulang kantor di ibukota.
Bioskop yang saya tuju pun bukan bioskop utama. Agak sempit, sepi.
Film Sultan Agung ibarat mesin waktu yang menerobos sekat zaman modern. Mulai dari kostum Jawa untuk rakyat jelata sampai pakaian kebesaran keraton. Hubungan manusia dengan alamnya terlihat jelas dari jalanan yang dibiarkan berlumpur tanah. Film itu mengisi imajinasi saya soal keraton Mataram kuno.
Film Sultan Agung ibarat mesin waktu yang menerobos sekat zaman modern. Mulai dari kostum Jawa untuk rakyat jelata sampai pakaian kebesaran keraton. Hubungan manusia dengan alamnya terlihat jelas dari jalanan yang dibiarkan berlumpur tanah. Film itu mengisi imajinasi saya soal keraton Mataram kuno.
Adegan dimulai dari
kehidupan silat padepokan Jawa, dimana calon raja disembunyikan di sana sebagai
persiapan menjadi penguasa Mataram. Bumbu-bumbu percintaan pun
ditambahkan pada narasi besar soal lahirnya kejayaan Mataram. Percintaan
di padepokan membuat calon raja menjadi manusia biasa. Bukan sebagai
titisan dewa.
Cinta terjalin
antara murid padepokan dengan sang calon raja. Perbedaan kasta tidak
membuat cinta keduanya padam. Malah, dengan adanya kasta yang berbeda,
keduanya saling menerima dan memahami perbedaan. Kasta raja melihat
kehidupan rakyat dari pasangannya. Pasangannya melihat kasta raja sebagai
sosok yang menaungi kehidupan orang kebanyakan.
Apakah cinta
keduanya berjalan langgeng?Cinta yang dipahami sebagai rasa yang universal,
tanpa sekat status ataupun perbedaan fisik lainnya, akankah menahan perbedaan
kasta?
Tradisi sejatinya dibentuk sebagai perwujudan rasa para pendahulu. Sifatnya abstrak. Ia dibentuk agar generasi selanjutnya diberikan panduan untuk hidup seperti pendahulunya. Ketika rasa kedua insan yang bertemu berlawanan dengan nilai pendahulunya, siapa yang harus mengalah? Selanjutnya, di mana rasa yang berbeda itu mendapatkan tempatnya?
Tradisi sejatinya dibentuk sebagai perwujudan rasa para pendahulu. Sifatnya abstrak. Ia dibentuk agar generasi selanjutnya diberikan panduan untuk hidup seperti pendahulunya. Ketika rasa kedua insan yang bertemu berlawanan dengan nilai pendahulunya, siapa yang harus mengalah? Selanjutnya, di mana rasa yang berbeda itu mendapatkan tempatnya?
Dapatkah semua rasa
yang berbeda itu ditempatkan berdampingan dengan setiap perbedaan pendahulunya
? Karena rasa pendahulu kita, bukan seperti cetakan loyang kue yang harus sama
dalam setiap adonan kue yang akan dipanggang. Kamu dan aku. Rasa
kita. Berbeda. Apalagi, rasa yang melintasi jaman yang berbeda.
Pada akhirnya, Sang
Sultan menempatkan rasa yang berbeda itu dengan memilih pilihan istana, bukan
pilihan rasa padepokan.
0 comments:
Posting Komentar