13 Mei 2012


 Pergi Ke Museum Monas

-Regimes fall everyday-

Rangkaian kata di atas, entah diucapkan oleh siapa, entah karena apa dan entah kapan.   Tiba-tiba ingat saja soal kejatuhan dari sebuah rezim/pemerintahan.  Jatuhnya rezim, sama seperti saya yang jatuh dalam dosa malas.  Salah satu dosa yang membuat blog ini seperti anak terlantar.  Lama tak menulis.  Lama tak menuangkan kesan atas hidup saya beberapa bulan ini.  Vakum.

Namun, saat ini saya kembali.  Dosa malas itu sudah jatuh tergantikan dengan semangat menulis, entah karena apa.  Mungkin karena saatnya ide-ide yang berkecamuk perlu dipuaskan melalui tulisan.  Kini, soal kejatuhan.  Kebetulan, kemarin saya berkunjung ke museum monas.  Bagi yang belum penah mengunjungi, tenanglah, saya bisa sedikit  membagi kunjungan saya ke sana.  Di sana ada beberapa diorama yang menceritakan perjalanan perjuangan bangsa kita.  Dari zaman pra-sejarah  (sebelum ditemukannya tulisan), kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara, masuknya penjajah, perjuangan pengusiran mereka, pemerintahan negara pertama negara kita dan jatuh bangunnya pemerintahan selanjutnya dan berakhir pada Orde Baru Soeharto.  Berhenti.

Setelah itu, tidak ada lagi cerita soal bagaimana kejatuhan rezim ini.  Tidak seperti jatuh bangunnya kerajaan negara kita ataupun tidak sama dengan jatuh bergantinya kabinet zaman Soekarno.  Orde Baru di museum itu abadi terpelihara.  Setidaknya jejaknya hampir terpelihara  merata.  Mungkin, bisa jadi saya tidak sempat mengikuti jejak zaman reformasi ini di sana.  Namun, nuansa kuburan Orde Baru benar terasa.  Saya bukan penentang rezim, namun saya hanya merasakan apa yang saya lihat dan alami sendiri di museum itu.

Kubur firaun di Mesir bertujuan sebagai tempat peristirahatan abadi para raja.  Museum ini pun sama sepertinya.  Pancasila dan segala kawan-kawannya disakralkan.  Di ruangan gelap tanpa lampu yang cukup yang bahkan debu kotor pun tidak mungkin lagi dapat tertangkap mata.  Kecuali kita dianugerahkan mata hati yang tajam.  Padahal, bukankah Pancasila adalah jati diri bangsa yang membedakannya dengan yang lain.  Mengapa perlu disakralkan?  Sama seperti keris, lukisan atau patung yang disakralkan malah membuat pemiliknya tidak bebas menyelami  maknanya.  Seperti terdapat batasan, misalnya batasan cara memperlakukannya, batasan cara memandikannya dan mungkin penggunaannya.  Lain halnya petunjuk manual alat elektronik yang kita beli.  Kita bebas mengutak-atiknya.  Apalagi falsafah hidup ini petunjuk manual dalam kehidupan kita, bukan?  Seharusnya, menyatu di kehidupan sehari-hari.

Mengapa pula tidak diutak-atik saat rezim berganti hampir 11 tahun lalu ?  Ya, mungkin tidak peduli.  Apatis belajar dari sejarah.  Rezim lama jatuh dan yang baru tidak perduli.  Atau apakah rezim baru  bertalian erat dengan rezim lama?  Yang jelas, memasuki museum ini saya seperti kembali pada kehidupan Sekolah Dasar saya.  Dimana kekuasaan rezim begitu mencengkram.  Bravo untuk museum Monas!  Seperti mesin waktu yang membawa saya mundur kembali.

0 comments:

Posting Komentar