30 Mei 2017

Ziarah



Ziarah.  Saya tertarik menonton film ini karena melihat poster si mbah.  Ada gambar si mbah yang sedang duduk di makam sambil termenung.  Ekspresinya kosong saja.  Lebih banyak “ornamen” kerut dan keriput di wajahnya.  Matanya pun sudah mengecil, cekung ke dalam.  Rambut putih, tipis dan bergaya orang Jawa lama, digulung “cepol”.  Kuburan yang menjadi latarnya cukup kontras dengan kesederhanaan si mbah.  Cukup mewah.

Inti ceritanya, bagi yang belum menonton, si mbah pergi mencari makam suaminya tanpa pamit dengan cucunya.  Pergi dari satu rumah ke rumah yang lain.  Menelusuri di mana maka suaminya, yang juga bekas pejuang 45.  Dari veteran yang satu ke teman almarhum suaminya yang lain.  Di sini saya menilai si mbah sudah menjadi detektif swasta.  Mengumpulkan informasi.  Berkelana.  Berjalan kaki.  Sesekali menaiki bis di terminal untuk pergi menempuh daerah luar kota.

Si mbah ingin menemukan makam agar ia dapat dikubur di samping suaminya.  Juga ia tampaknya punya perasaan iri melihat istri pejuang lainnya ziarah di makam suaminya sambil bercerita kepahlawanan suaminya.

Usaha menemukan makam tidak semulus bayangannya.  Kadang si penunjuk makam salah menunjukan nama makam.  Juga, ada yang menghalangi si mbah datang ke makam itu.  Ini karena terkait akhir cerita film ini, yang mana saya tidak tulis di sini.

Akhir cerita, si mbah menemukan kuburannya.  Tapi si mbah dan saya tidak menyangka akhir cerita ini jauh dari yang dicitakannya. 

Film ini mengajarkan untuk kita dapat menyelesaikan masa lalu kita yang tidak mungkin kembali lagi.  Entah dengan cara memperjuangkannya untuk mendapatkannya kembali.  Kalau tidak bisa ya, menerimanya saja.  Kadang kita yakin kita masih bisa memperjuangkannya, namun akhir dari perjuangan itu, rahasia semesta.  Tidak ada yang tahu.  Ketika kita tahu, hasilnya mungkin saja mengejutkan.  Sama seperti akhir film ini.  Bukan akhir cerita bahagia.
 

0 comments:

Posting Komentar