8 Sep 2018

Dunia Berputar

Terus terang saya tidak bisa mengendarai kendaraan beroda empat tanpa disupiri.  Pikir saya, untuk apa belajar, saya juga tidak punya.  Sejak TK sampai SMA, saya terbiasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah.  Maklum, jaraknya sepelemparan batu.  Agak kaget, ketika sudah kuliah.  Saya harus naik kendaraan umum.  Memang, hanya  setengah jam saja.  Itu pun karena angkutan melaju tidak santai. 

Supir angkot memaksa angkotnya berakrobat untuk menghindari mobil-mobil lain tanpa jeda.  Hanya telunjuk calon penumpang saja yang memaksanya berhenti dan sedikit santai.  Setelah kaki penumpang naik angkutan, dengan terburu-buru langsung tancap gas.  Sekarang, giliran sang penumpang harus berakrobat di dalam angkot.  Penonton penumpang lain yang sudah lebih dahulu duduk terkadang mesti membantu keseimbangan penumpang baru itu.  Bagi yang belum belajar akrobat harus lebih hati-hati kalau tidak mau jatuh di dalam angkot.  setidaknya, pengalaman naik angkot dan menjadi penonton akrobat itulah yang membekas sampai kini.

Kebiasaan menumpang angkutan saat sekolah, terbawa sampai sekarang.  Bedanya, jalanan yang sekarang tambah lebar karena pindah kota.  Tetapi masihkah berakrobat? Tentu.  Hal yang berbeda hanyalah saat jalanan macet.  Pada saat penumpang turun bis kota pun, laju bis tidak terhenti.  "Kaki kiri.. Kaki kiri," teriak kondektur memaksa kaki kiri penumpang yang lebih dahulu menginjak aspal.  Dag..Dig..Dug..Debar jantung seorang penumpang berdegup kencang.  Debar jantung bertambah keras, jika penumpang seorang wanita hamil.  Inilah pengalaman naik metromini di Jakarta, sebelum angkutan berbasis teknologi aplikasi saat ini.

Mungkin keadaan-keadaan di atas bagi banyak orang kaya ibukota menteror ketenangan hidup.  Menegangkan dan mempertaruhkan nyawa.  Ibarat kita bermain di taman hiburan, kita membeli ketegangan, di jalanan kita bertaruh nyawa.  Namun, bagi yang mau tidak mau karena terpaksa dan butuh, naik angkot bisa karena biasa.  Tidak ada hal aneh.  Hanya perlu kesabaran dan menenangkan si jantung kesayangan.

Kini,  di era angkutan online, sudah tidak lagi bertaruh sebesar era dulu.  Penumpang lebih dimanjakan. TInggal klik, kendaraan jalan menuju tempat kita.  barangkali hidup bagai roda berputar.  Dulu supir-supir angkot yang membuat penumpangnya merana.  Sekarang, tiap satu kali klik penumpang angkutan online, harapan supir angkot menipis.  Tidak tahu lagi bagaimana caranya kejar setoran sehari-hari

0 comments:

Posting Komentar