13 Sep 2018

Beberapa hari lalu, saya ingin menonton film layar lebar, Sultan Agung.  Entah sudah terlalu lama tayang atau tidak, layar bioskop yang memutar dapat dihitung dengan jari.  Itupun jauh dari tempat saya tinggal.  Demi film itu, saya harus membuat otot saya pegal melawan kemacetan pulang kantor di ibukota.  Bioskop yang saya tuju pun bukan bioskop utama.  Agak sempit, sepi.

Film Sultan Agung ibarat mesin waktu yang menerobos sekat zaman modern.  Mulai dari kostum Jawa untuk rakyat jelata sampai pakaian kebesaran keraton. Hubungan manusia dengan alamnya terlihat jelas dari jalanan yang dibiarkan berlumpur tanah.  Film itu mengisi imajinasi saya soal keraton Mataram kuno.

Adegan dimulai dari kehidupan silat padepokan Jawa, dimana calon raja disembunyikan di sana sebagai persiapan menjadi penguasa Mataram.  Bumbu-bumbu percintaan pun ditambahkan pada narasi besar soal lahirnya kejayaan Mataram.  Percintaan di padepokan membuat calon raja menjadi manusia biasa.  Bukan sebagai titisan dewa. 

Cinta terjalin antara murid padepokan dengan sang calon raja.  Perbedaan kasta tidak membuat cinta keduanya padam.  Malah, dengan adanya kasta yang berbeda, keduanya saling menerima dan memahami perbedaan.  Kasta raja melihat kehidupan rakyat dari pasangannya.  Pasangannya melihat kasta raja sebagai sosok yang menaungi kehidupan orang kebanyakan.

Apakah cinta keduanya berjalan langgeng?Cinta yang dipahami sebagai rasa yang universal, tanpa sekat status ataupun perbedaan fisik lainnya, akankah menahan perbedaan kasta?

Tradisi sejatinya dibentuk sebagai perwujudan rasa para pendahulu.  Sifatnya abstrak.  Ia dibentuk agar generasi selanjutnya diberikan panduan untuk hidup seperti pendahulunya.  Ketika rasa kedua insan yang bertemu berlawanan dengan nilai pendahulunya, siapa yang harus mengalah? Selanjutnya, di mana rasa yang berbeda itu mendapatkan tempatnya? 

Dapatkah semua rasa yang berbeda itu ditempatkan berdampingan dengan setiap perbedaan pendahulunya ? Karena rasa pendahulu kita, bukan seperti cetakan loyang kue yang harus sama dalam setiap adonan kue yang akan dipanggang. Kamu dan aku.  Rasa kita. Berbeda. Apalagi, rasa yang melintasi jaman yang berbeda.

Pada akhirnya, Sang Sultan menempatkan rasa yang berbeda itu dengan memilih pilihan istana, bukan pilihan rasa padepokan.


0 comments:

Posting Komentar