7 Apr 2011

Burlesque antara Impian dan Pencarian

Dihiasi dengan goyangan-goyangan yang segar dan lagu yang menghentak hati kita, Burlesque, sebuah film drama yang disuguhkan apik.  Tidak main-main, Christina Aguilera sendiri yang memerankan tokoh utamanya.  Bermodalkan uang dari hasil kerjanya menjadi pelayan toko, datanglah ia melamar pekerjaan menjadi penari di Los AngelesHasratnya mengejar impian tak terbendung lagi, dari Iowa, kampung halamannya, ke Los Angeles.  Langkahnya akhirnya terhenti di club milik Tess (Cher)Sang tokoh, Ali Rose (Christina Aguilera),  bermimpi menjadi penari sekaligus penyanyi di klub itu.  Tempat dimana ia menemukan tempat yang sepertinya menjadi tempat yang seperti istilah anak muda sekarang ‘gue banget’.  

Sama ceritanya seperti kita menemukan impian kita.  Setelah lama mencarinya bagai musafir yang tiada lelah mencari tempat perhentian, pada akhirnya kita menemukan oase itu.  Begitupun Ali.  Baginya hidup itu perjuangan.  Tidak seperti mengambil makanan instan.  Semua serba cepat dan ada di mana-mana.  Awalnya, Ali sempat ditolak untuk menjadi penari karena audisi blm dibuka.  Namun, tak patah arang, dia pun menjelma menjadi pelayan bar yang seksi dan menarik.  Dia melayani pengunjung bar sembari tidak bisa lepas dari pertunjukan club milik Tess.

Sampai pada akhirnya audisi pun dibuka.  Tanpa diketahui sahabatnya Jack (Cam Gigandet), seorang bartender, dia pun beraksi di panggung.  Pada awalnya Tess tentu menolaknya karena Christina miskin pengalaman.  Bisa diduga,  miskin pengalaman tidak menghalangi Ali untuk mewujudkan mimpinya.  Di panggung audisi dia membiarkan panggung itu tetap menjadi miliknya dan tidak ada seorang pun dapat merebutnya dari tanganya.  Hasilnya, Tess memberikan 1 tempat penari padanya.


Mengejar mimpi.  Itulah tema besar dalam film ini, menurut kacamata saya.  Mimpi memang perlu dikejar.  Mungkin hanya 1 dari 1000 mimpi akan datang menghampiri sendiri.  Lain soal kalau kita berbicara mimpi di siang bolong atau mimpi sebagai bunga tidur.  Mimpi siang bolong kalau tidak dikejar, memang mau turun dari langit ?  Lihat saja mimpi saya yang mau menjadi dokter gigi yang tidak pernah dikejar.  Tidak mungkin Simsalabim terwujud ibarat mengelus-elus lampu aladin.  Buktinya, saya tidak pernah menjadi dokter gigi.  Ini contoh buruk bagi seseorang yang tidak pernah mengejar mimpinya.  Mimpi kali, yee..!

Pengejaran akan sebuah mimpi juga dilakukan oleh Tess.  Klub nya ternyata dililit hutang dan mau bangkrut.  Pilihannya hanyalah menjual klub itu pada Marcus Gerber sang kaya raya (diperankan oleh Eric Dane) atau mengejar omzet besar untuk menutupi hutangnya.  Ketika tagihan bank datang, Cher sangat terpukul.  Dia berkata pada Sean (Stanley Tucci), seorang perancang mode di klubnya, “Bohongi aku agar aku tenang”.  Temannya itu malah berkata tentang tagihan bank ,”It just a number.”

Karena dikejar, singkat cerita, mimpi kedua orang tersebut di atas terwujud sudah.  Ali melenggang sukses menjadi penari kenamaan di club nya tersebut.  Tess tentu dapat mempertahankan clubnya.  Klub adalah hidupnya.  Kalau begitu tak salah, Tess disebut orang yang dapat mempertahankan kehidupannya.  Happy ending!  Semua senang penonton puas.

Bukan akhir cerita yang membuat saya tergelitik ingin sedikit cuap-cuap tentang Burlesque.   Yang menarik adalah masalah pengejaran impian.  Pengejaran impian yang sedang dialami oleh kedua pemeran Burlesque di atas.  Sejenak saya terdiam heran.  Mengapa mimpi harus dikejar?  Apakah ia berlari-lari tanpa arah dan tujuan ? Ataukah dia sedang bersembunyi di sebuah tempat sehingga kita perlu untuk mengejarnya ?

Mungkin demikian.  Mimpi itu sesuatu yang abstrak.  Ia laksana anak kecil yang baru saja bisa berjalan dan berlari.  Tanpa menghiraukan sekililingnya ia berjalan-jalan dan berlari-lari kesana sini.  Mimpi pun sebebas itu.  Ia bergerak pada satu masa ke masa yang lain.  Ia menyusuri masa lalu, juga menembus masa depan.  Impian bergerak tanpa batas.  Ia bagai anak bengal yang tidak dapat dikekang.  Apapun boleh, asal saya dapat bergerak.  Itulah mimpi.

Karena kencangnya impian, hanya yang jeli memanfaatkan kesempatan saja yang dapat mewujudkan impiannya.  Impian abstrak.  Impian tidak terbentuk kalau bukan kita yang memperlengkapinya dengan bentukan ‘ala’ kita.  Itulah mengapa impian perlu dikejar.  Ia melewati segala batas-batas dunia fisik yang dapat kita rasakan.  Mimpi memiliki burung besi terbang saat jalan Wright bersaudara bukankah telah melewati akal sehat pada jamannya ?
Sang Pencerah berkata semua jalan akan terbuka dengan sendirinya.  Jikalau yang sedang dipikirkan bukan impian kita, impian yang sesungguhnya akan menampakkan diri.  Sebab pencarian jati diri merupakan proses seumur hidup.  Salah, bangkrut, jatuh, semua itu biasa.  Hal terpenting adalah, mampu bangkit lagi.  Gagal bukan berarti kita kalah, namun kegagalan terjadi kalau kita tidak mampu untuk bangkit kembali.  Tidak percaya ? Coba saja.  Semudah itu cara kerjanya.

Kalau begitu.  Sekarang pertanyaan bodoh saya terjawab sudah.
.
.
.

2 comments:

marchaela mengatakan...

sippp kang yoyon... friends, jangan takut untuk bermimpi yaa... dan kejarlah impianmu sampai dapat

Unknown mengatakan...

mimpi siang bolong deh abis lunch..ngantuk ini..hmmm..

Posting Komentar