5 Mei 2011

Terima Kasih Hujan

Pukul 6 pagi jam sudah berdentang.  Jam antik Ibu kos yang membangunkanku pagi ini. Di luar kamar sedang turun hujan.  Namun tak seperti hujan yang mengguyur bumi lainnya, hujan pagi ini bersamaan dengan dentuman besi bertalu-talu.  

“Alaamaakk..berisiknya..!”

Walau jam ini seluruh Ibu-ibu sudah bersiap-siap untuk memasak atau mencuci baju, tetapi terlalu pagi untuk orang yang semalam lembur sampai pukul 1 pagi.  Biasa, tugas lemburnya masih tetap memperkaya perusahaan orang.  Belum berubah 

Akhirnya, aku memaksakan bangun tanpa kompromi.  Melawan rasa kantuk luar biasa.  Terbengong saja melihat diriku yang berantakan.  Malamnya, aku tidak mandi, tidak sikat gigi, tidak ganti baju. Masih dengan baju kantor.  Segarnya parfum refill masih sedikit tercium.  Selebihnya, bau badan.


Sementara hujan masih terus turun.  Kekasih hatiku mengetuk pintu.  Aku buka dan wajahnya tampak riang.  Kawat giginya terlihat lebih mengkilat.  Dia tersenyum.  

“Pagi, sayang..”

“Wah, apa yang kamu bawa ?”

“Ini roti coklat buat kamu.  Baru saja aku buat.”

Kekasihku memang tiada duanya.  Beruntung aku memilikinya.  Dia rajin, suka bangun pagi.  Nonton sponge bob.  Berleha-leha.  Setelah itu biasa membuat sarapan.  Berbeda jauh dengan aku.  Ngasal.  Rusuh.  Buru-buru berangkat kerja kalau waktunya sudah hampir habis.  

Segera aku sarapan roti buatannya.  Sendiri, tentu saja. Sebab, dia harus pergi berangkat pergi.  Maklum, kantornya buka lebih pagi.  Kalau aku sendiri, bebas-bebas saja.  Mau berangkat jam berapapun kalau tidak ada pekerjaan, sah-sah saja datang kapanpun.

Sambil melihatnya pergi ke kantor lewat jendela kamar, aku melayangkan pandanganku pada kuli bangunan.  Mereka asyik menempa besi untuk menyusun rangka bangunan.  Di tengah hujan gerimis dan angin yang agak kencang, mereka tetap setia bekerja.  Aku merasa mereka pekerja keras.  Tubuhnya yang basah kuyup tidak sedikitpun membuat tenaganya berkurang.  

Malam sebelumnya pun aku berpikir telah bekerja dengan sangat keras.  Pergi wara-wiri ke tiga tempat.  Belum lagi sesudahnya harus bekerja di depan komputer. Berlama-lama  mengejar rapat-rapat kantor juga makanan biasa.  Segalanya dikejar-kejar target.  Aku mengeluh.  Marah.  Puncaknya, melampiaskan kekesalan ke orang yang tak berdosa yang tahu masalahku saja tidak.

Pagi ini, mataku terbuka bahwa aku tidak sekeras mereka.  Masih duduk di ruangan ber-AC, sambil disuguhi secangkir kopi dan tentu naik turun kendaraan dinas.  Alangkah berbedanya keadaan kuli bangunan di seberang jalan kamarku.  

Orang bijak berkata, saat selalu membanding-bandingkan keadaan sendiri pada orang lain, kita tidak akan pernah puas.  Akan tetapi, pagi ini, aku harus bersyukur saat melihat mereka.  Mereka jauh lebih tangguh.  Hujan telah membukakan mataku pagi ini.     

1 comments:

Ready mengatakan...

dibalik cerita keseharian, ternyata makna tulisan ini jauh lebih dalam ketimbang rutinitas sehari-hari. "dimana akhir dari rasa puas?" mungkin itu pertanyaan yang harus kita tanyakan pada diri sendiri

Posting Komentar