14 Jun 2011

Liputan Wisata Anak Kota : Tour de Sawarna


Bis perjalanan yang membawa saya masih berjalan tiada henti.  Meliuk-liuk.  Kadang naik.  Kadang turun.  Namun yang pasti, bis ini belum membawa saya pada tempat yang dituju.  Saya ingin ke desa Sawarna.  Kampung yang sedang booming tiga tahun belakangan ini.  Saya tahu dari situs komunitas kaskus.  

Awalnya saya kebingungan mau pergi ke mana untuk liburan 3 hari berturut-turut.  Jarang kesempatan untuk libur untuk pekerja kantoran seperti saya. Saya memilih tempat yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam.

Akhirnya desa Sawarna yang saya pilih.  Saya suka kehidupan desa.  Kembali pada alam. Bukankah alam ini yang menaungi hari pertama saya di muka bumi ?  Tak hanya itu, alam memberikan saya nafas baru.  Nafas dari udara pedesaan yang alami setelah teracuni gas karbon di Jakarta.  

Tak disangka, keberangkatan saya ke Sawarna terlaksana sudah.  Padahal 1 hari sebelumnya rasa lelah menyergap.  Saya baru beristirahat tengah malam.  Kini, sudah lebih dari 3 jam bis ke Sawarna membawa saya.  Bosan.  Panas.  Lelah.  Walaupun bis ber- AC jangan harap mantap hembusannya.  Hembusannya seperti nafas naga.  Panas dan sedikit berbau.    


Setelah turun, desa yang dituju tak langsung dipijak.  Masih perlu menggunakan kendaraan elf lagi.  Mobil yang badannya lebih besar dan tahan tanjakan.  Di dalamnya muat 12 orang.  Tidak sulit mencarinya.  Situs komunitas kaskus memberikan petunjuk yang jelas.  Sengaja saya print dan menemani perjalanan saya.  Biar ada rasa aman.  

Di dalamnya.  Kursi untuk 12 orang diisi hampir 20 orang.  Tak ketinggalan orang yang bergelantungan di atap dan di samping pintu masuk elf.  Elf ini multi fungsi.  Di samping pintu masuknya ada tangga kecil.  Tangga ini diperlukan untuk orang yang ingin duduk ataupun orang yang ingin menyimpan barang bawaannya di atap elf.    

Elf ini membawa saya tak hanya melintasi pegunungan dan perbukitan yang naik turun, namun juga membawa saya pada suasana kekeluargaan.  Tertawa renyah.  Berbagi cerita dan perhatian.  Mulai dari cerita soal keluarganya, kekasih dan anaknya.  Tak hanya itu, semua yang duduk di dalam elf ternyata saling mengenal satu sama lain.

Hati saya begitu terlepas.  Hidup saya serasa diberikan nyawa baru.  Melihat suasana hangat dengan hamparan sawah yang menguning.  Juga, pepohonan hijau yang menambah sejuk.  Wewangian kayu khas pedesaan yang dibakar membuat indra penciuman saya pun terpuaskan.  Kesemuanya dalam waktu 2 jam di perjalanan.

Supaya tidak bosan, saya berkenalan dengan kenek elf.  Mantan penambang emas cikotok.  Menarik.  Dia bercerita pengalamannya soal menambang emas dan berbagai ritual mistik sebelum masuk ke lorong-lorong gelap.  Ternyata daerahnya masih menyimpan cadangan emas yang sangat berlimpah.  Cukup untuk tujuh turunan.  Entah sesumbar atau memang benar.

Lama mengobrol dengannya, tak terasa saya sampai di gapura desa Sawarna.  Sang kenek menunjuk ke arah ojeg.  Dengan sigap sang empunya motor menawarkan jasanya.  Saya pikir perjalanan ke dalam desa tidak akan jauh lagi.  Dugaan saya salah.  Ternyata perjalanan untuk masuk ke Sawarna masih memakan waktu 20 menit lagi.  Tapi tenang. Di dalam perjalanan saya tetap merasa terhibur.  Diawali dengan lebatnya hutan jati, saya kagum melihat laut biru langit membentang di ujung perjalanan saya.  Begitu bersih berhiaskan pasit putih.

Sampailah saya di desa Sawarna.  Desa yang disebut desa wisata.  Setelah melewati jembatan kayu yang membentang di atas kali, saya berkunjung ke salah satu homestay.  Saya disambut istri pemilik homestay.  Buru-buru disuguhi secangkir teh manis dengan ikan balado.  Rasanya ? Jangan tanya nikmatnya.  Seolah saya tenggelam dalam kesegaran lautan Sawarna.  Rasa khas ikan laut berenang di dalam mulut saya dan meluncur mengisi perut kosong saya.

Dari homestay, saya bisa sesekali mendengar deburan ombak.  Hanya 200 meter berjalan kaki ke pantai Sawarna.  Peselancar bule tak ketinggalan membawa peralatannya.  Rupanya, mereka baru kembali mengarungi ombak Sawarna.  Saat itu hari menuju sunset.  Romantis.  Langit gelap memerah dihiasi pancaran mentari sore.  Cantik namun tidak norak. Saya menambah hiasan pasir putih Sawarna dengan jejak langkah kaki saya menyusuri pantai.

Karena matahari sudah tertidur.  Saya bergegas pulang ke homestay.  Bersiap melanjutkan perjalanan saya esok hari.  Masih di tempat yang sama.  Pemilik homestay menyediakan senter untuk saya pergi ke pantai.  Sayang, sinarnya hanya cukup menerangi rumah semut.  

Berlanjut saya pergi ke batu karang Tanjung Layar.  Luar biasa indahnya.  Di balik Tanjung Layar itulah diari air sepinggang.  Saya berendam.  Airnya tenang.  Namun di balik batu karang itu deburan ombak menerpa dengan kerasnya.  Airnya hangat.  Dasarnya tanaman laut.  Mencegah saya terpeleset dan jatuh.

Setelah puas.  Saya pulang kembali ke kehidupan nyata.  Bergulat di depan komputer, menyajikan laporan ini untuk Another Hope.     


1 comments:

Ready mengatakan...

saya larut dalam alunanan cerita kang yoyon. memang tak salah anda dijuluki sang pencerita, ditunggu liputan selanjutnya

Posting Komentar