13 Jun 2011

Kisah Nyata dengan Sedikit Penyamaran


Kisah Nyata dengan Sedikit Penyamaran
“Mas..Hayukk...Kita Pergi!”

Seorang wanita tinggi, putih, berbulu mata lentik setengah berteriak manja.  Banyak yang bertanya.  Apa pekerjaannya.  Siapa dia.  Apalagi penampilannya berbeda dengan orang kantoran kebanyakan.  Mereka terlebih suka berpakaian formal, kaku, sopan.  Tak seperti pakaiannya yang hanya memakai kaos orange segar dengan bawahan rok berenda ala gypsi.  Untuk sedikit terkesan tertutup, kaosnya dibalut cardigan bewarna pastel.  Mata yang memandangnya jelas akan tertuju pada kaos orange ketatnya.  Seperti wanita kebanyakan , tak lupa dia memakai sepatu hak tinggi yang kinclong mentereng.

“Gue mau ke gerai HP.  Ini kartu telepon gue sudah 4 tahun.  Sudah terlihat kusam.  Rusak.  Gak enak dipandang pokoknya.  Mas..temani aku dong.  Ingin naik busway, tapi takut”

Aku berusaha membujuk Mas Jo yang semenjak tadi sudah luntang lantung tidak jelas.  Maklum.  Hari kejepit nasional.  Pekerjaan menjadi tidak jelas.  Kadang ada pekerjaan yang dipaksakan untuk mencegah karyawan makan gaji buta.  Aku sebagai orang yang paling gaul hanya bisa berdandan sejak siang.  Bos sudah pergi selepas azhar.


Mas Jo tentu segan menolak ajakannku.  Dia single.   Tak masalah menggandeng wanita cantik sepertiku.  Tebakanku tepat.  Mas Jo mau mengantar aku turun naik busway.  Angkutan umum paling premium di Jakarta.  Rakyat bawah yang tidak pernah naik mobil ber AC, dapat juga sedikit berlaku seperti orang gedean.

Aku tahu dari cara orang-orang memandang.  Bola mata mereka sedikit membesar saat aku lewat di depan mereka.  Bola mata membesar berarti mereka ingin menangkap sinar masuk lebih banyak.  Sinar masuk berarti pandangan terhadap obyek semakin detil.  Itu yang kutahu.

Tak terekecuali Mas Jo.  Dibalik kacamatanya yang tebal, aku tahu kadan bola matanya membesar saat melihatku duduk di sampingnya.  Begitupun saat kami mengantri masuk ke busway.  Sedikit desak-desakan.  Saat busway datang, orang-orang di depan kami menyerbu masuk.  Walau dengan sedikit memaksa untuk masuk, aku tak berhasil rupanya.  Jadilah kami terdepan

“Mir, kamu itu harus hati-hati.  Amankan tasmu.  Siapa tahu ada yang nekat menarik paksa.”

“Ya, Mas.  Dulu pacarku sering juga mengingatkanku seperti itu.  Aku bilang, terima kasih sudah diingatkan.  Kamu pun bisa bilang hal yang sama ke pacar kamu yang lain.  Jangan hanya padaku. “

“Lho ? Memang pacarmu punya pacar lain ? Tidak lewat sampai 4 kan ?”

“Aku selalu bilang setiap kali pacaran.  Kalau kamu mau punya pacar selain aku silahkan.  Aku tidak melarang.  Bahkan, pacarku nomor dua ini menyodorkan dua foto pacarnya untuk kupilih.  Mana yang terbaik.”

“Pacar kedua ? Pacarmu ada berapa?”

“Mas, pacarku ada tiga.  Satu yang di inggris.  Dia lagi sekolah.  Dua, yang tadi aku cerita.  Pria berumur 38 tahun.  Agak tua dan berumur.  Tiga, ya mungkin Mas Jo ? Tertarik ?”

“Ah, bisa saja kamu”

Mas Jo terlihat malu. Tersipu.  Aku bisa melihatnya

Sementara itu, orang-orang di belakang kami mulai menggerutu.  Kepanasan.  Yang ditunggu belum datang juga.  Sama seperti menunggu yang dicinta beramai-ramai.  Kami mencintai busway di halte ini, sebab olehnya kami menemukan harapan untuk pergi dari kebosanan kami.  Lari dari rutinitas kantor.  Bertemu dengan kehangatan yang  sama sekali berbeda di luar kesibukan kami. 

Tapi tidak bagiku.  Di sini aku bisa bercerita.  Bebas saja jika yang lain mendengar.  Aku bangga.  Jarang wanita berpacara banyak.  Dari jaman poligini di India saja, wanita memang boleh bersuamikan lebih dari satu.  Kini, tidak hanya lelaki bebas berpacar ganda.  Aku pun boleh.

“Wah, Mir.  Kamu harus bisa memilih dari sekian banyak pria itu.  Mereka bisa marah ke kamu lho kalau tahu.”

“Ya biarlah mereka tahu.  Pacarku yang kedua sekarang juga tidak mengerti diriku.  Malam minggu kadang dia bersama wanita lain.  Aku melihat pacarku berdandan untuk bertemu pacarnya.  Aku terlihat diam saja.  Siapa yang bisa merasakan denyut amarah di dalamku?”

“Lalu, apakah keluargamu tahu?”

“Mereka tidak tahu apa-apa.  Mereka sibuk memikirkan hutang bank untuk dilunasi.  Untuk kehidupan sehari-hari semua bergantung padaku.  Setengah gajiku untuk mereka.  Aku sayang mereka.  Semenjak SMA aku bekerja sendiri.  Pegawai toko.  Pelayan.  Nasib yang membawaku ke Jakarta.  Aku dari kota kecil di jawa sana.”

“Kamu hebat, Mir”

“Kamu percaya ? Penampilan itu membuat orang mempercayai kita.  Memandang kita.  Itu yang aku rasakan.  Lulusan SMA sepertiku bisa menjadi sekretaris di kantor, itu karenanya.  Aku belajar semua otodidak.  Demi keluargaku.  Adikku mampu kuliah, aku tidak.  Tak mengapa.  Asal ada yang kuliah di keluarga kami”

Mas Jo tampak menerawang.  Dirinya bergaji lebih besar dari sekretaris.  Dia lelaki.  Anak pertama pula.  Namun gaji yang disetor untuk keluarganya tak sampai separuh.  Mas Jo terlihat anak baik-baik.  Tapi sering menghabiskan gaji bulananya di meja judi.  Sama sekali berbeda antara penampilan dan kenyataan.

Sementara kami saling berdiam karena cerita sudah usai.  Pintu shelter busway terbuka.  Busway yang dinanti datang.  Kami berdua naik busway.  Mas Jo melindungiku, supaya tidak ada penumpang yang menyerobot.  Maklum hak sepatuku tinggi untuk ukuran orang yang niat naik busway.  

Kami pergi ke tempat tujuan meninggalkan rasa lega namun tetap berdesakan dengan orang di dalam busway.  Melintas di depan kami penumpang yang membawa buku berjudul “Don’t Judge Book by its Cover”  

0 comments:

Posting Komentar